Senin, 23 November 2009

Inilah Denda Adat Bagi Penunggak SPP

Diceritakan oleh : Irwansyah, SP (Faskeu Sambas)
edited by : abeng

Berita ini kejadiannya sudah cukup lama, namun tetap menarik untuk diberitakan kembali, yaitu terkait dengan penanganan masalah tunggakan Simpan Pinjam kelompok Perempuan (SPP).

Contoh nyata penerapan sanksi lokal yang diberlakukan di program PPK (sekarang PNPM-MP) telah dijalankan di desa Rirang Jati Kecamatan Nanga Taman, Kalimantan Barat. Ketika salah satu kelompok SPP (Simpan Pinjam Perempuan) melakukan tunggakkan pengembalian pinjaman SPP, maka desa melalui aparat desa, tokoh adat dan tokoh masyarakat melakukan pertemuan untuk membahas hal tersebut.

.

Pertemuan yang dilakukan atas kehendak desa ini pada tanggal 31 Maret 2008 bertempat di Balai Desa Rirang Jati, dihadiri oleh Kades, BPD, Babinsa, Kadus, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Anggota Kelompok dan masyarakat ini kemudian menjatuhkan sanksi kepada Ketua Kelompok SPP yang menunggak SPP hingga 4 bulan. Adapun bentuk sanksi yang berikan adalah berupa sanksi pengembalian uang pinjaman paling lambat tanggal 20 April 2008 dengan jaminan 1 buah sepeda motor dan tanah seluas 3 Ha yang akan disita oleh desa jika tidak membayar pada batas waktu tersebut.

Pada saat bersamaan juga dikenakan sanksi adat kepada penunggak tersebut. Adat yang diberikan adalah sanksi adat sebesar 16 poku yang merupakan bentuk peringatan dan membayar biaya sidang perkara sebesar Rp. 100.000,-

Pertemuan dan sanksi yang diberikan adalah murni atas prakarsa desa bersangkutan, karena mengingat bahwa salah satu bentuk evaluasi yang disepakati dalam Musyawarah Antar Desa dalam melakukan prioritas usulan adalah tidak boleh ada tunggakan pinjaman SPP di desa. Ini berarti bahwa usulan kegiatan desa yang bersangkutan akan berkurang peluangnya untuk didanai oleh program PNPM-Mandiri Perdesaan.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

PNPM hanya menilai SPP sebagai suatu keberhasilan apabila tidak ada tunggakan....tapi kegiatan PNPM yang lain tidak pernah dijamah oleh penilaian itu,,,,seharusnya penilaian secara kolektif,,,,SPP dan bangunan dijadikan suatu bagian penilaian oleh para pelaku PNPM,,,Misalkan Desa A bangunannya lebih rapi atau lebih irit biaya dan SPPnya nunggak maka predikat apa yang harus diberikan itu apa.......trus masalah fasilitator yang tidak pandai ngomong gak usah dijadikan fasilitator UPK......diteluk batang contohnya....tidak bisa ngambil kebijakan saat pelelangan.....

Ariandi.com mengatakan...

Sekarang pertanyaannya adalah, apakah dengan adanya program SPP PNPM MP ini berpengaruh pada meningkatnya ekonomi masyarakat miskin ?.................
Ternyata survei dilapangan menunjukkan bahwa hal ini tak berpengaruh secara signifikan pada meningkatnya taraf hidup masyarakat miskin.
Lalu pertanyaan selanjutnya adalah " Apa penyebabnya ?....
Hasil survei penulis yang merupakan anggota BKAD kecamatan Semparuk Kabupaten Sambas adalah Terletak pada pelaku PNPM MP yang semua berjiwa bisnis dengan pola pikir " raup untung sebesar - besarnya " Mengapa dikatakan demikian ? " .....
kita ambil contoh, tingkat suku bunga yang terlalu tinggi yang diterapkan oleh UPK sebesar 1,5 % perbulan dengan sistem bunga statis. Sedangkan perbandingan Bunga bank saat ini rata - rata dibawah 10% pertahun dengan sistem bunga menurun. Jelas hal ini sangat - sangat memberatkan bagi warga miskin untuk memanfaatkan program ini untuk membangun usaha kecil mereka.
Hal ini selalu menjadi perdebatan antara pelaku - pelaku kecamatan setiap ada musyawarah ditingkat kecamatan, dan argumen yang selalu dijadikan senjata pamungkas adalah DANA ABADI UPK MASIH KECIL, "hingga masih wajar kalau kita mengambil untung sebesar - besarnya "
yang pada akhirnya lagi - lagi selalu masyarakat miskinlah yang dikorbankan. Allahu a'lam